Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 Maret 2013

PROYEKSI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013




Membicarakan perubahan kurikulum tahun 2013 tentu tidak sesederhana yang dibayangkan orang dan juga para ahli. Tim kurikulum yang terdiri dari para pakar di bidang kurikulum dan juga akademisi tentu sudah melakukan kajian secara mendalam tentang perubahan kurikulum ini. Terlepas dari apakah kurikulum rancangan para ahli tahun 2012 ini sangat baik atau sebaliknya tentu harus diuji dengan waktu yang memadai.
Berdasarkan pertemuan di kantor Wapres, maupun kantor Kemenkokesra, sudah diambil suatu kesimpulan awal, bahwa kurikulum yang baru ini akan dapat diimplementasikan pada tahun 2013, sehingga tidak ada kata lain, kecualinya harus menjalankannya. Oleh karena itu di dalam banyak kesempatan maka Mendikbud, Mohammad Nuh selalu menyatakan bahwa kurikulum 2013 siap dilaksanakan dan hanya tinggal menyelesaikan problem implementasinya.
Apakah sesederhana itu? Jawabannya ternyata tidak. Masih ada banyak kendala yang dihadapi terkait dengan implementasi kurikulum ini. Kendala tersebut bisa bercorak struktural maupun kultural. Kendala-kendala ini tentu harus dipikirkan secara mendalam terkait dengan implementasi kurikulum yang sesuai dengan rencana akan dilaksanakan pada tahun 2013 ini.
Kendala struktural  tersebut antara lain adalah ketidaksiapan anggaran pada tahun 2013. Sebagaimana dipahami bahwa melalui mekanisme program berbasis kinerja, maka setiap anggaran pada tahun anggaran sudah direncanakan secara mendalam pada tahun sebelumnya sehingga program yang berjalan dengan tanpa direncanakan pada tahun sebelumnya tentu akan mengalami kesulitan pada tahun anggaran berjalan.
Perubahan kurikulum ini terkesan mendadak, sebab dipersiapkan di tengah tahun ketika anggaran tahun berikutnya sudah memasuki pagu definitif. Oleh karena itu, maka terdapat sejumlah kesulitan untuk melakukan penambahan atau perubahan anggaran terkait dengan implementasi kurikulum baru.
Sesungguhnya saya mengapresiasi terhadap kehadiran kurikulum baru ini sebab banyak hal yang saya kira sangat mendasar. Misal ya adalah pendekatan tematik integratif yang akan di kembangkan tentu sangat menarik untuk diperbincangkan. Di dalam bahasanya Pak Mendikbud, bahwa sudah tidak ada lagi konsepsi mata pelajaran, sebab mata pelajaran sudah terintegrasi di dalam tema-tema. Jadilah temalah yang menentukan bukan lagi satuan-satuan mata pelajaran.
Di dalam contoh tentang pengintegrasian mata pelajaran IPA di dalam bahasa Indonesia, maka yang dibicarakan bukan bagaimana bahasa Indonesia diajarkan, akan tetapi bagaimana mengajarkan IPA dengan medium bahasa Indonesia. Bukan mengajarkan tata bahasa Indonesia tidak penting, akan tetapi mengajarkan tata bahasa secara bersamaan dengan mengajarkan tema-tema IPA. Jadi mengajarkan konsep-konsep IPA dengan bahasa Indonesia.
Demikian pula untuk IPS, maka yang diajarkan adalah tema-tema IPS yang diajarkan dengan Bahasa Indonesia. Jadi bahasa Indonesia adalah instrumen untuk mengajarkan tema-tema mata pelajaran lain yang tetap dianggap penting. Jadi keraguan ilmuwan IPA tentang reduksi IPA di dalam kurikulum 2013 kiranya bisa dijawab dengan penjelasan ini. Memang bisa jadi ada yang kurang di dalam proses pengintegrasian ini, akan tetap melalui Never ending process, maka saya kira keraguan itu akan bisa dijawab secara memadai.
Hanya saja bahwa keinginan untuk mengimplementasikan kurikulum ini pada tahun depan, rasanya memang berat, terutama pada aspek dana dan sumber daya guru. jika di kementrian pendidikan dan kebudayaan mungkin bisa saja menggunakan skema pemanfaatan DAK di kabupaten/kota untuk mendukung program implementasi kurikulum ini, misalnya untuk pembiayaan buku teks yang memang haus dihadirkan di dalam perubahan kurikulum ini, dan juga untuk memobilisasi pelatihan guru terkait dengan kurikulum ini, akan tetapi tidak mudah bagi kementerian agama yang memiliki anggaran terbatas untuk pencetakan buku darah bagi kurikulum 2013.
Bisa dibayangkan bahwa anggaran untuk buku di kementerian agama hanyalah Rp. 52 miliar. Sementara untuk pelatihan guru juga hanya sebanyak 850 orang. Anggaran pencetakan buku ini tentu tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan buku bagi 67.000 madrasah di Indonesia. Demikian pula pelatihan guru juga tidak mewadahi kebutuhan guru yang harus dilatih untuk kepentingan pemenuhan kurikulum ini. Jika menggunakan ukuran satu guru terlatih saja pada setiap madrasah, maka membutuhkan sebanyak 67.000 guru. Jadi memang terdapat kendala yang cukup mendasar di dalam implementasi kurikulum ini.
Oleh karena itu, maka pilihan yang diambil jika kurikulum ini harus dilaksanakan adalah dengan menggunakan pilot proyek pada sejumlah madrasah mungkin sebesar maksimal 30 persen saja, sehingga pemenuhan anggaran buku dan pelatihan guru akan bisa dihandle.
Saya menyadari, sebagaimana ungkapan Pak Wamendikbud, Prof. Muslihat Kasim, bahwa untuk mendongkrak kualitas pendidikan kita adalah dengan mengubah kurikulum agar lebih baik. Kualitas pendidikan kita yang berdasarkan survei Firma Pendidikan Peurson masih menempati ranking terbawah atau ke 50, sama dengan Brazil dan Meksiko, kiranya memang bisa didongkrak dengan perubahan kurikulum ini.
Kita tent berharap bahwa perubahan kurikulum adalah solusi yang benar, akan tetapi yang lebih penting dari semuanya adalah menyiapkan guru yang andal dan teruji, sehingga kualitas pendidikan kita akan menjadi semakin baik.
Jadi perubahan kurikulum juga akan menjadi kurang bermakna jika mindset guru dan tindakan guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan tidak memperoleh sentuhan program yang memadai. Makanya, melatih guru agar menjadi guru yang profesional tetap menjadi prioritas bagi peningkatan kualitas pendidikan indonesia.
Wallahu a’lam bi alshawab.