oleh:
Whan Laba*)
Sebagai salah
seorang pelaku pemberdayaan saya banyak menemui bahwa peran-peran strategis di
Desa tidak berlangsung secara optimal seperti yang di amanatkan oleh program.
Bukan berarti semua Desa pelakunya tidak optimal, namun dari kacamata
pengalaman saya, hampir rata-rata pelaku di Desa terkadang terpusat hanya
kepada orang-orang itu saja. Meskipun dalam PNPM, telah terbentuk pelaku-pelaku
yang di syahkan pada saat Musyawarah Desa (MD), namun kualitas yang di harapkan
belum dapat dikatakan menggembirakan.
Salah satu peran
pelaku yang selama ini di pandang penting namun terlupakan adalah KPMD. Kader
Desa yang di bentuk PNPM yang mengemban tugas dalam hal memfasilitasi segala
mediasi, konsultasi, evaluasi dan monitoring terhadap kegiatan PNPM di desa
tersebut dengan supervise dari Fasilitator Kecamatan. Singkat kata KPMD adalah
pengendali pelaksanaan program di Desa untuk memastikan bahwa kegiatan program
berjalan sesuai dengan prinsip dan prosedur PNPM, meskipun dalam beberapa hal
kewenangannya di batasi. Yaitu hanya dalam soal pencairan dana proyek PNPM saja
tidak memerlukan KPMD. Karena pencariran dana mutlak di sertifikasi langsung
oleh Fasilitator. Meskipun tidak di larang apabila KPMD memberikan rekomendasi
kepada Fasiliator kaitanya dengan pelaksanaan kegiatan desa.
Namun dalam banyak
tahapan lain, peran-peran KPMD memegang posisi strategis untuk mengawal
kegiatan PNPM. KPMD lah agent culture of change yang sejati di desa.
Dalam perjalanan program, peran KPMD di nilai belum memberikan kontribusi
secara maksimal dalam proses pemberdayaan masyarakat di Desa. KPMD hanya
terbatas sebagai tangan panjang FK untuk membuat proposal usulan dan tugas
administrative yang lain saja.
Tidak mengecilkan
peran KPMD dan mungkin ini hanya bersifat kasuistik saja, bahwa secara umum
pemahaman KPMD hampir tidak memiliki peran apa-apa di Desa. Kecuali sebagian
besar pekerjaanya hanyalah datang ketika Rakor KPMD untuk menerima transport
dan menghadiri Musdes yang ada. Datang dan duduk saja mendengarkan. Padahal di
PTO pun tercantum bahwa yang memfasilitasi musyawarah adalah KPMD. Fasilitator
hanya memfasilitasi pada saat Musdes Sosialiasi. Tapi kembali lagi bahwa
dominasi fasilitator yang sangat tinggi membuat desa, KPMD atau pelaku yang
lain sangat tergantung kepadanya. Bahkan ada rasa kalau Musdes atau kegiatan
lain tidak di dampingi dan di arahkan fasilitator merasa takut salah dan rasa
minder lainnya. Bila kasus yang ini, yang harus di jewer pertama kali adalah
fasilitatornya yang kurang memberikan bimbingan, peluang dan kepercayaan untuk
para pelaku berkembang. Meskipun tetap harus tetap ada pendampingan dan
evaluasi untuk memastikan tahapan tidak keluar dari prinsip program.
Setiap kali saya
menghadiri Musdes, banyak masyarakat yang mengeluh menyampaikan kepada saya,”
sulit sekarang mas, cari orang yang mau menjadi berjuang bagi desa yang tidak
mendapatkan apa-apa.” Ada lagi yang juga mengatakan,”mencari orang yang kober
(punya waktu) untuk mengurusi desa sudah jarang mas. Mereka lebih memikih
mencari pekerjaaan di tempat lain daripada mengurusi desa namun tidak
mendapatkan apa-apa. Yang anak muda tidak perduli dengan pembangunan desanya,
yang pintar rata-rata sudah bekerja di luar kota, tinggal hanya yang tua-tua
yang sudah phase-out.”
Sehingga yang
terjadi adalah ketika proses pemilihan KPMD terpilih orang-orang seadanya yang
hanya sebagai penggugur kewajiban saja. Apakah calon KPMD itu punya kompetensi
atau tidak bukan merupakan hal yang memusingkan. Yang penting Desa mendapat
proyek PNPM.
Namun di sisi lain,
seperti yang tercetus dari ungkapan seorang teman dari desa lain yang menyampaikan aspirasinya , yang kecewa karena hanya mendapatkan transport
yang minimalis, sehingga ia mau keluar menjadi kader desa.Dan ada juga teman yang karena sibuk dengan urusan keluarga ingin keluar dari KPMD.
Terus akan seperti
apa menyikapi hal ini? Saya sih secara pribadi tidak keberatan kalau umpamanya
KPMD dapat gaji atau setidaknya kompensasi yang wajar. Jangankan KPMD, kalau
perlu pak RT juga boleh untuk di usulkan. Karena kalau pemikiran kita adalah
membangun desa sendiri tidak mendapat kompensasi, ya itu penerapanya jangan
berlaku hanya pada wilayah desa saja, Namun coba kembangkan ke wilayah lain
yang lebih luas, Misalnya sering ada pernyataan “Buat kader desa, tak usahlah
fokus pada Rupiah, ibarat bangun rumah sendiri (desamu!), masak bangun rumah
sendiri minta gaji/honor,….” Sering terpaksanya saya sendiri sering bilang,
bila memang bahasanya seperti itu saya sih setuju saja. Namun coba di
kembangkan lagi bahasanya, umpamanya kader desa di ganti dengan Presiden, DPR,
Gubernur, Bupati, Kades dlsb. ‘Buat para Presiden, tak usahlah fokus pada
Rupiah, ibarat bangun rumah sendiri ( Negaramu!) masak bangun negaramu minta
gaji/honor. Silahkan yang lain di teruskan sendiri.
Seperti halnya Pendamping
Lokal (PL), KPMD pewaris ilmunya pemberdayaan di desa. Dialah yg nantinya akan
jadi ujung tombak konsultasi, monitoring, evaluasi, mediasi dlsb yang tidak
hanya untuk PNPM saja namun juga untuk program-program yang lain. Pengawal
prinsip, prosedur dan pengusung misi pemberdayaan. Bila desa ingin berdaya
salah satu indikatornya adalah kemampuan KPMD dalam fasilitasi di desa. Tanpa
kerja KPMD, PNPM menjadi sekarang ini yaitu hanya terjebak kepada Proyek semata
namun lepas esensi pemberdayaannya.
So. Saya sih setuju
saja dan umpamanya mendukung adanya gaji KPMD, namun juga di pastikan bahwa
kualitas KPMD juga bisa di pertangunggungjawabkan. Sehingga jangan ada lagi
nada-nada minor yg menuduh KPMD hanya sebagai pelengkap program, mau
transportnya tapi tak mau kerjanya. Hanya datang ketika rakor KPMD dan hanya
jadi peserta Musdes, tapi lupa denga misi yang harus di kawalnya. KPMD pun
harus berubah serta mampu menunjukkan kapasitas dan buktinya kepada masyarakat
juga program. Dan jangan lupa bahwa di tangan KPMDlah nilai pemberdayaan di
desa ini nanti akan di titipkan.
Dikutip dari berbagai sumber.
*Penulis adalah Kader Pemberdayaan Masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar